Aku, Buku dan Perjalanan Beradaptasiku




          Ada yang berbeda sejak pandemi melanda dunia dan setiap orang memiliki cara yang berbeda mengatasi kegelisahan yang dirasakan. Kita hanyalah manusia punya batasan tapi bukan berarti kita tidak bisa melakukan hal yang luar biasa. Pandemi ini mengajarkan untuk lebih mawas diri dan mengasah perasaan.  

          Awalnya aku sendiri tidak percaya  Covid-19 akan mewabah di Indonesia, namun hari yang mengerikan itu datang tanpa mengisi form registrasi pendaftaran. Sekolah dan  perkantoran ditutup bahkan rumah ibadah dan fasilitas umum lainnya turut ditutup. Orang-orang menjadi kalut bahkan PHK besar-besaran terjadi, ojek online sepi pelanggan, pedagang kaki lima dilarang jualan namun hidup tetap harus berlanjut.  Mudik lebaran pun dilarang. Semua menjadi berbeda dan bahkan kita semua dilanda rasa takut, takut segala sesuatunya akan berubah.

Setelah dua minggu tidak masuk kerja akhirnya aku sendiri memutuskan kembali membaca buku-buku yang belum sempat kubaca demi mejaga kewarasan. Bagiku membaca adalah salah satu ketenangan yang hakiki, levelnya lejen. Selama pandemi ada sekitar tiga puluh lebih buku yang sudah kubaca mulai dari fiksi dan nonfiksi. Ada yang menguras air mata, ada yang mengundang tawa dan tak jarang menggugah jiwa.

          Salah satu judul buku terbitan gramedia yang begitu membekas dalam ingatanku adalah Loving the Wonded Soul karangan Regis Machdy cetakan keenam September 2020.  Awalnya aku pikir buku ini merupakan buku terjemahan mengingat judulnya menggunakan Bahasa Inggris dan nama penulisnya  yang terdengar asing. Lucu juga ya aku  hehehe, judgemental sekali. Ternyata ia seorang penulis lulusan UGM dan melanjutkan studi magisternya tentang psikologi di luar negeri. Buku ini memaparkan di dalam ilmu psikologi ada istilah, seasonal afektif disorder (SAD) yaitu menjelaskan fenomena gangguan mood seseorang di musim-musim tertentu terutama di musim dingin. Cuaca dan alam mempunyai daya magis yang dapat mengantarkan kita pada kondisi bahagia dan sedih. Aku merasa buku ini relate dengan kondisi yang dirasakan saat ini, pandemi menimbulkan kekalutan dan kepanikan, mulai dari gaya hidup bahkan faktor ekonomi dan lingkungan.

          Dalam hidup ini memang banyak hal yang tidak bisa diprediksi tetapi mindset kita dalam memandang masalah itu  adalah hal yang berbeda. Tentu tidak mudah, terkadang kita merasa sudah melakukan yang terbaik tetapi tetap saja menyisakan kekosongan yang mendalam. Pandemi ini mengajarkan untuk berhati-hati, saling menjaga dan peduli. Salah satu cara untuk mengasah kepedulian adalah dengan membaca. Membaca menyadarkan dan menghidupkan kembali nurani yang selama ini terpendam dalam diri setiap jiwa manusia. Sejak pandemi aku tertarik membaca buku yang berhubungan dengan psikologi, karena ada banyak kegelisahan yang tidak bisa dikatakan namun berat untuk dirasakan.

          Perasaan yang tak terkatakan lama-lama menjadi penyebab stress dan membuat jiwa tertekan. Aku sendiri melihat fenomena ini hampir dirasakan semua orang bahkan diriku sendiri. Sebelum memahami orang ada baiknya kita memahami diri kita sendiri terlebih dahulu. Bukan karena egois tapi itulah hakikatnya untuk saling memahami dan mengerti sesama,  karena  ketidakpedulian menggerus rasa empati. Dalam buku Loving the Wounded Soul juga dijelaskan bahwa segala sesuatu bisa diubah bahkan ekspresi gen kita. Keadaan apapun yang cukup membebani bisa diatasi tergantung bagaimana perspektif kita menghadapi  setiap masalah yang datang. Buku ini juga menjelaskan bahwa kita semua bebas memilih cara untuk jujur mengakui emosi yang kita rasakan. Jujurlah pada diri sendiri, karena  penyebab stress tidak hanya faktor keadaan namun sejatinya  diri kita sendiri enggan mengakui bahwa kita sedang dilanda masalah dan ingin segera lari darinya. Kekuatan dalam diri ingin segera menyelesaikan masalah itu, padahal menyadari dan mengakuinya tidaklah buruk, karena setiap masalah pasti ada jalan keluar dan solusinya. Kita bukanlah sosok yang sempurna dalam segala aspek kehidupan.

          Membaca memperkaya perspektif dalam memandang suatu masalah yang datang. Kita belajar untuk melihat lebih dalam perasaan dan diri sendiri. Semakin kita memahami diri semakin kita ingin berbagi kebaikan pada orang lain. Pandemi bukanlah akhir tapi adalah awal untuk menemukan takdir selanjutnya. Siapapun yang masih berdiri saat ini adalah manusia-manusia pilihan yang saling menguatkan. Menjalani kehidupan memang tidak mudah apalagi di saat-saat pandemi dan hectic. Kita adalah manusia yang masih memiliki kesempatan untuk selalu memperbaiki keadaan. Jangan lupa tetap baca buku dan jaga kesehatan.



Komentar

Posting Komentar

Postingan Populer